Antheiz

Infrastruktur menjadi artefak, jika generasinya tak dibentuk

Sejak kembali ke Kampung Maribu setelah menyelesaikan studi di Pulau Jawa dan kembali tinggal di sini selama setahun terakhir, saya mengamati satu fenomena yang menurut saya belum banyak berubah. Fenomena ini, saya pikir, menjadi salah satu penyebab mengapa pertumbuhan kualitas sumber daya manusia (SDM) serta ruang-ruang kolektif untuk menumbuhkan semangat dan kesiapan generasi masa depan belum berkembang dengan baik.

Masih ada cara pandang yang cukup dominan bahwa pembangunan dan kemajuan hanya diukur dari wujud fisik, terutama ketika bangunan baru dibangun atau direnovasi menjadi lebih modern. Bahkan, terlihat seolah sebagian orang dewasa hanya ingin memuaskan diri mereka di sisa hidup dengan melihat bangunan megah berdiri, lalu merasa bangga dan yakin bahwa masa depan telah tercapai hanya karena aspek fisik telah terpenuhi.

Padahal, cara pandang seperti itu menghadirkan ekspektasi kosong: generasi muda diharapkan mampu mempersiapkan masa depan mereka sendiri, sementara prasyarat, dukungan, ruang eksplorasi, dan fasilitasi untuk berkembang tidak pernah benar-benar disiapkan oleh generasi sebelumnya. Ironisnya, ketika generasi muda kemudian mengalami kesulitan beradaptasi atau gagal menjawab tantangan masa depan, mereka yang tidak mempersiapkan ruang tersebut justru menyalahkan generasi muda atas ketertinggalan itu.

Pertanyaannya sederhana namun penting: bagaimana generasi bisa beradaptasi jika ruang adaptasinya tidak pernah diciptakan? Bagaimana generasi bisa melompat lebih jauh jika landasan berpijaknya saja tidak disediakan? Ini sungguh miris dan menjadi refleksi bersama bahwa pembangunan fisik tanpa pembangunan manusia hanyalah kemegahan yang rapuh—indah dipandang, namun tidak memiliki daya guna jangka panjang.

Di sisi lain, ruang independen dan inklusif yang memungkinkan generasi muda belajar, berjejaring, berkreasi, mengembangkan kompetensi, serta berlatih keberanian dalam mengambil peran tidak pernah benar-benar dipikirkan sebagai prioritas. Akibatnya, perkembangan generasi berjalan stagnan selama beberapa tahun terakhir dan terjebak pada pola hidup yang berulang.

Jika pola ini terus bertahan, akan sulit bagi kita untuk bersaing dan mengelola perubahan. Era globalisasi perlahan mendekat, akses ekonomi akan masuk, dan peluang akan terbuka — namun sangat mungkin generasi di kampung ini hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri, bukan aktor utama.

Pada akhirnya, gedung yang megah tidak akan dapat menggantikan kualitas manusia yang siap dan terlatih. Bangunan tanpa SDM yang kuat hanyalah monumen; bukan masa depan.

Karena itu, saya mengajak kita semua, dari generasi tua hingga generasi muda, untuk mengalihkan fokus pembangunan dari sekadar fisik menjadi pembangunan karakter, potensi, keterampilan, dan pola pikir generasi. Mari memanfaatkan seluruh sumber daya yang kita miliki — dari alam, kebudayaan, relasi sosial, pengalaman, hingga pendidikan — untuk membangun ekosistem belajar dan bertumbuh bersama.

Sekarang adalah waktunya. Bukan besok. Mari kita siapkan generasinya, bukan hanya masa depannya.