Selama ini saya melihat bahwa salah satu tantangan besar yang dihadapi pemerintah daerah di Papua adalah belum adanya sistem, ruang, atau wadah yang jelas, terstruktur, dan berkelanjutan bagi anak-anak asli Papua yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya, baik di dalam maupun di luar daerah. Banyak dari mereka kembali dengan rasa bangga, membawa mimpi, pengetahuan baru, dan semangat untuk mengabdi. Namun ketika sampai di kampung halaman, realitas yang mereka temui sering kali tidak sejalan dengan harapan: belum tersedia tempat yang memungkinkan mereka menerapkan ilmu dan kompetensinya secara maksimal. Seolah-olah perjalanan panjang mereka berhenti begitu saja tanpa “babak lanjutan” yang pasti.
Situasi ini kemudian menimbulkan efek domino. Banyak generasi muda Papua yang telah berjuang keras untuk meraih pendidikan tinggi akhirnya memilih menetap dan berkarier di luar Papua karena peluang yang lebih jelas, profesional, dan relevan dengan bidang keilmuan mereka. Sementara sebagian yang memutuskan pulang—baik karena panggilan hati, alasan keluarga, atau rasa tanggung jawab moral—harus menerima kenyataan bahwa peluang yang tersedia sering kali tidak sesuai dengan kompetensi yang telah dibangun. Ada lulusan teknik yang bekerja sebagai staf administrasi, lulusan kesehatan memilih pekerjaan umum, lulusan teknologi berkutat pada pekerjaan teknis sederhana, bahkan ada yang akhirnya menganggur dan kehilangan arah karena tidak tahu harus mulai dari mana.
Dalam kondisi seperti ini, sering muncul komentar, “Kalau sudah kuliah tinggi harusnya kreatif, bisa menciptakan usaha sendiri, jangan hanya bergantung pada pemerintah.” Menurut saya, pernyataan tersebut tidak sepenuhnya keliru, namun kurang tepat jika dijadikan ukuran yang sama untuk semua disiplin ilmu. Kita harus memahami bahwa tidak semua bidang keilmuan dipersiapkan untuk langsung membuka usaha mandiri. Ada bidang yang membutuhkan laboratorium, data besar, alat berskala industri, fasilitas penelitian, hingga infrastruktur yang tidak mungkin dibangun secara pribadi. Bagaimana mungkin seorang lulusan robotika, farmasi, teknik sipil, riset kelautan, hingga sains data dapat bekerja maksimal tanpa dukungan fasilitas yang memadai? Sebagus apa pun ide dan kreativitas, tanpa ruang eksekusi, hasilnya tetap menjadi sebatas teori di kepala atau proposal yang tidak pernah dijalankan.
Di sisi lain, generasi muda masa kini memiliki pola pikir, cara bekerja, dan preferensi kontribusi yang berbeda. Banyak yang tidak merasa cocok dengan pola kerja birokratis yang kaku, penuh administrasi, dan minim ruang eksplorasi seperti yang umum berada di jalur pemerintahan atau PNS. Ini bukan persoalan gengsi atau tidak mau tunduk pada aturan, tetapi karena mereka membutuhkan ruang yang dinamis, fleksibel, kolaboratif, dan mendorong kecepatan inovasi. Mereka ingin mencipta, bereksperimen, memecahkan masalah, dan menghadirkan solusi melalui pendekatan modern yang relevan dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu melihat pergeseran pola ini sebagai peluang aset pembangunan, bukan ancaman atau tanda ketidakpatuhan.
Salah satu langkah potensial yang menurut saya bisa menjadi solusi jangka panjang adalah memaksimalkan lembaga-lembaga yang sebenarnya telah tersedia, seperti BUMD, BUMDes, dan Papua Youth Creative Hub (PYCH). Ketiganya dapat berfungsi sebagai ruang pulang sekaligus ruang kontribusi bagi anak muda Papua yang ingin kembali dengan martabat dan peran nyata. BUMD dapat diperkuat sebagai jalur profesional non-birokratis bagi para tenaga terdidik, sehingga mereka tidak merasa bahwa satu-satunya pintu pengabdian hanya lewat jalur PNS. Di tingkat kampung, BUMDes dapat menjadi jembatan konkret bagi pemuda untuk terlibat langsung di tengah masyarakat melalui pendekatan berbasis potensi lokal. Sementara PYCH idealnya mampu menjadi rumah kreativitas yang aman, inklusif, netral, dan bebas dari kepentingan politik, sehingga benar-benar menjadi ruang tumbuh, bukan ruang simbolik.
Saya percaya bahwa potensi generasi Papua bukan ditentukan oleh siapa yang paling pintar, tetapi oleh siapa yang diberi ruang, kesempatan, dan dukungan berkelanjutan. Pada akhirnya, masa depan Papua akan bergerak maju ketika setiap anak muda yang kembali merasa dihargai, diberi ruang, dan dipercaya. Jika kita mampu membangun ekosistem yang mendukung, bukan hanya fasilitas fisik, maka Papua bukan hanya tempat pulang, tetapi tempat membangun masa depan bersama.