Antheiz

Kesadaran yang Tumbuh dari Dalam

Bayangkan sebuah lagu yang terus diputar setiap hari. Lama-lama kita hafal nadanya, bahkan tanpa sadar ikut menyanyikannya. Begitulah cara kekuasaan bekerja dalam pandangan Antonio Gramsci: bukan hanya dengan perintah dan kekuatan, tapi lewat lagu-lagu ide yang terus diulang sampai terasa wajar di telinga kita. Lagu itu bisa berbunyi “pembangunan adalah kemajuan,” atau “NKRI harga mati.”

Di Papua, lagu itu sudah lama dimainkan. Sekolah mengajarkan nasionalisme dari buku yang ditulis di Jakarta. Media menyiarkan berita bahwa pembangunan jembatan dan tambang adalah tanda kemajuan. Pemerintah pusat datang membawa proyek besar dengan janji kesejahteraan. Semuanya tampak baik, seolah-olah tidak ada yang salah. Tapi jika kita berhenti sejenak dan mendengar lebih dalam, kita akan sadar bahwa tidak semua orang ikut bernyanyi dengan gembira. Ada suara lain, pelan tapi jelas, yang mempertanyakan: kemajuan versi siapa? kesejahteraan untuk siapa?

Inilah titik awal dari dialektika. Gramsci menyebut keadaan pertama ini sebagai hegemoni — ketika masyarakat menerima pandangan dunia penguasa sebagai sesuatu yang normal dan benar. Dalam konteks Papua, hegemoni itu muncul lewat ide-ide pembangunan dan persatuan nasional yang mengabaikan kenyataan hidup masyarakat lokal. Akibatnya, banyak orang Papua merasa kehilangan ruang untuk menentukan arah hidupnya sendiri.

Namun setiap hegemoni selalu menimbulkan getar kecil di bawah permukaannya: antitesis, yaitu kesadaran baru yang mulai tumbuh dari bawah. Kesadaran ini lahir dari pengalaman nyata — dari masyarakat yang melihat bahwa pembangunan tidak selalu membawa keadilan, dan dari generasi muda yang mulai bertanya kenapa suara mereka jarang didengar. Mereka mulai membangun cara pandang sendiri tentang apa itu kemajuan, dan apa arti merdeka dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran ini bisa tumbuh lewat banyak jalan. Di sekolah-sekolah alternatif, para guru lokal mulai mengajarkan sejarah Papua yang jarang muncul di buku pelajaran nasional. Di kampung-kampung, komunitas adat menghidupkan kembali bahasa dan upacara tradisi. Di media sosial dan panggung musik, anak-anak muda Papua menulis, menyanyi, dan berbicara tentang tanah dan identitas mereka. Semua itu bukan bentuk penolakan buta terhadap negara, tapi cara halus untuk berkata: kami juga punya cerita sendiri.

Di sinilah peran intelektual asli Papua menjadi sangat penting. Mereka bukan hanya orang yang menulis di jurnal atau berbicara di seminar, tapi juga penyambung suara masyarakat. Mereka menjadi jembatan antara dunia gagasan dan realitas hidup rakyat. Dengan menciptakan ruang-ruang diskusi yang inklusif, mereka membantu masyarakat berbicara, mendengarkan satu sama lain, dan membangun kesadaran bersama. Di ruang-ruang semacam itu, kekuasaan tidak datang dari atas, tapi lahir dari percakapan yang setara.

Dari titik ini, lahirlah sintesis — pemahaman baru tentang Papua dan Indonesia yang lebih adil. Sintesis ini bukan sekadar kompromi, tapi pertemuan antara dua pandangan dunia: nasionalisme yang menekankan persatuan, dan kesadaran lokal yang menuntut pengakuan dan keadilan. Di dalam sintesis ini, Papua tidak lagi dipandang sebagai daerah yang harus “dibangun”, melainkan sebagai subjek yang mampu membangun dirinya sendiri, dengan cara yang sesuai dengan kebijaksanaan dan kebutuhan masyarakatnya.

Perubahan sejati, seperti kata Gramsci, tidak terjadi dalam semalam. Ia tumbuh pelan-pelan, dari kesadaran yang tersebar di kepala dan hati banyak orang. Mungkin ia dimulai dari satu kelas kecil di pedalaman, dari satu lagu yang dinyanyikan dengan bahasa ibu, atau dari satu diskusi terbuka di balai kampung. Tapi dari hal-hal kecil itulah lahir kekuatan besar: kesadaran kolektif bahwa masyarakat punya hak untuk mendefinisikan dunianya sendiri.

Dan ketika kesadaran itu menyebar, lagu lama kekuasaan mulai kehilangan iramanya. Lalu lahirlah lagu baru — lagu yang nadanya datang dari dalam, dari tanah, dari pengalaman, dari suara masyarakat sendiri. Lagu yang bukan sekadar melawan, tapi menyembuhkan dan menumbuhkan.

Perlawanan paling kuat kadang tidak berteriak, tapi berpikir. Ia lahir ketika orang mulai sadar bahwa kebenaran juga bisa datang dari dirinya sendiri.